Main games gratis

Try GameAccess.ca today for FREE!

Minggu, 24 Oktober 2010

Soeharto : Pahlawan atau Bukan ?

Partai Amanat Nasional (PAN) menolak 'meramaikan' polemik gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Keputusan akhir atas wacana tersebut sepenuhnya tergantung hasil seleksi pihak yang berwenang melakukan penilaian.

"Kriteria seseorang menjadi pahlawan nasional kan sudah ada. Kami serahkan sepenuhnya kepada dewan gelar," ujar Sekjen PAN, Taufik Kurniawan, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/10/2010).

Menurutnya, PAN tidak mau ikut-ikutan dalam kontroversi pro atau kontra isu tersebut. Taufik berharap semua pihak mempercayakan sepenuhnya kepada lembaga resmi yang mengetahui persis parameter pemberian gelar untuk pahlawan.

"Kita tidak boleh terjebak orang per orang tetapi lebih kepada bagaimana parameter seseorang diusulkan kepada pemerintah. Tinggal pemerintah yang menerima masukan itu dan menyelesaikannya sesuai standarisasi pahlawan nasional," papar Taufik.

Dia juga berharap semua kalangan tidak mengintervensi pemberian penghargaan kepada mantan Presiden Soeharto. Sebab, rakyat telah memberikan masukan kepada Kemensos dan tinggal menunggu keputusan di dewan gelar.

"Kita tidak boleh menginterfensi. Kita serahkan kepada Kemensos supaya dilakukan mekanisme yang sesuai," tandasnya..

Sebelumnya, Sekjen PKS Anis Matta mendukung penuh penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional. Anis menilai peranan Soeharto selama 32 tahun memerintah tak bisa diabaikan.

Politisi senior PKS itu beranggapan Soeharto telah berhasil membangun Indonesia selama 32 tahun berkuasa. Soeharto dinilai berhasil memajukan Indonesia di berbagai sektor.

Anis juga mengajak semua pihak tidak hanya melihat kesalahan Soeharto di masa lalu. Semua Presiden dianggap punya masalah masing-masing.

"Semua Presiden punya masalah. Memang Soekarno tidak punya masalah?. Kalau dibilang banyak utang, sekarang pemerintah juga banyak utang," terang Anis.(Sumber:Detik.com)

Jumat, 15 Oktober 2010

Gayus: Uang Ini Hanya Titipan Tuhan, Bu Hakim

Terdakwa kasus mafia hukum dan mafia pajak, Gayus Tambunan membuat pengunjung sidang tertawa terbahak-bahak. Ini ia lakukan saat menjawab pertanyaan hakim saat bersaksi dalam sidang terdakwa Haposan Hutagalung.

Adalah Hakim Albertina Ho yang mengaku penasaran, dari mana uang miliaran yang dimiliki Gayus.

"Dari mana saja sih saya kagum uang saudara banyak sekali?" tanya Hakim Albertina dalam sidang di Pengadilan Jakarta Selatan, Jumat 15 Agustus 2010.

Apa jawab Gayus? "Ya namanya rezeki, Bu hakim," kata Gayus, diikuti gelak tawa pengunjung sidang.

Ditambahkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu, saat ini bukan masalah uang yang penting. Tapi bagaimana agar permasalahannya bisa cepat beres. "Uang ini hanya titipan Tuhan. Uang bisa dicari."

Gayus lantas bercerita, banyak pelajaran yang ia dapat dari kasusnya. salah satunya 'dipaksa' belajar hukum.

"Dulu saya sibuk, urusan kantor saya tahunya beres. Sekarang di tahanan banyak baca kasus saya," kata dia.

Dalam kesaksiannya dalam kasus Haposan, Gayus menyatakan mantan pengacaranya itu tidak pernah mendampingi dirinya selama proses penyidikan, bahkan juga tidak saat persidangan.

Haposan, kata dia, hanya mendampingi jelang kasusnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Tangerang.

Gayus diperkarakan karena diduga telah melakukan rekayasa pajak dan melakukan praktik penyuapan terhadap penegak hukum.

Sementara, Haposan dijerat dengan tuduhan telah melakukan atau turut serta melakukan merintangi, mencegah, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses penyidikan, penuntutan dan persidangan perkara korupsi.

Sumber : Vivanews

Selasa, 12 Oktober 2010

Divonis 1,5 Tahun, Sjahril Masih Pikir-pikir

Sjahril Djohan belum mengajukan upaya banding atas vonis 1,5 tahun yang diketok majelis hakim. Sjahril masih pikir-pikir atas vonis yang menilai dirinya sebagai perantara suap ke Komisaris Jenderal Susno Duadji.

"Putusan ini berat. Seharusnya saya bebas," kata Sjahril di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 12 Oktober 2010.

Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Sudarwin, menjatuhkan vonis satu tahun enam bulan penjara kepada Sjahril. Selain itu, Sjahril juga harus membayar denda Rp50 juta atau jika tidak membayar, hukumannya ditambah empat bulan penjara.

Pengacara Sjahril, Hotma Sitompoel, menyatakan hakim sudah cukup jeli dan adil dalam mengambil putusan itu. "Tapi yang jadi masalah hanya satu pasal yang kita beda pendapat," ujar Hotma.

Pasal yang dimaksud adalah mengenai vonis hakim yang menyatakan Sjahril terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau sesuai dengan dakwaan kedua subsidair.

Menurut Majelis Hakim, Sjahril terbukti bersalah karena memberikan uang Rp500 juta kepada mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Susno Duadji pada akhir Desember 2008.

"Terdakwa meletakkan amplop coklat BCA di sofa saat datang ke rumah Susno Duadji," kata salah satu hakim yang membacakan putusan secara bergantian. Setelah meletakkan amplop itu, terdakwa pulang. Dalam sidang sebelumnya, uang ini terkait dengan kasus mafia Arwana yang menyeret nama PT Salma Arowana Lestari.

Sumber : Vivanews

Jumat, 08 Oktober 2010

Buron KPK Anggoro Widjojo Ada di Hong Kong

 Buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Anggoro Widjojo terlacak di Hong Kong. Anggoro adalah tersangka dugaan korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan.

"Anggoro kini sama saya di Hong Kong," kata pengacara OC Kaligis saat dihubungi VIVAnews, Jumat 8 Oktober 2010.

Kaligis mengungkapkan, ia dan kliennya sedang menggelar rapat. Namun tidak dijelaskan terkait apa rapat yang dilakukan.
Beberapa waktu lalu, saat kasus yang melibatkan adiknya Anggodo Widjojo mencuat ke publik, Anggoro terdeteksi di Singapura.

Ditanya, apakah Anggoro tidak berniat pulang ke Indonesia? Kaligis menjawab, "Hukum di Indonesia tidak adil. Anggoro akan pulang kalau di Indonesia ada keadilan."

Contoh ketidakadilan hukum Indonesia, kata dia, kliennya Anggodo Widjojo, kini masuk bui karena diperas Ary Muladi. "Ary Muladi yang memeras malah dilindungi KPK, sedangkan Anggodo dimasukkan penjara. Di mana adilnya coba?" kata dia.

Apakah KPK tahu keberadaan Anggoro ini? "Sejauh ini kami belum dapat informasi itu," kata juru bicara KPK Johan Budi SP.

Sumber : Vivanews

Kamis, 07 Oktober 2010

Cerita Sedih Panda Nababan Jadi Tersangka KPK

Panda Nababan, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, memanfaatkan betul rapat dengar pendapat komisinya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Panda yang ditetapkan tersangka korupsi oleh KPK menceritakan kisah sedih menjadi pesakitan KPK. Ia bercerita, beberapa hari sebelum ditetapkan sebagai tersangka penerima suap, terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 pada 1 September 2010, beritanya sudah muncul  di sebuah koran. Berita itu, kata Panda, berjudul: "Ditangkap anggota Komisi III berinisial PN. Anggota Komisi III itu diduga tersangkut masalah di KPK."

Panda mempertanyakan standar kerja KPK. Dia membaca di sebuah majalah, ada seorang penyidik KPK yang membuka hasil pemeriksaan saksi. "Ini harusnya jadi pertimbangan, bagaimana penyidik bisa umbar hasil penyelidikan ke luar," katanya.

Lalu pada 1 September, barulah muncul berita KPK menetapkan dia sebagai salah satu dari 26 tersengka penerima suap. Panda disebut mendapat suap Rp1,45 miliar. "Sejak masalah ini ada, hubungan saya dengan beberapa orang di KPK terganggu," kata Panda, Kamis 7 Oktober 2010.

Sejak itu, Panda merasa menjadi korban pembunuhan karakter.

"Anak saya yang di UPH sedang selesaikan skripsi, berdebat dengan dosennya, lalu menangis," kata Panda. "Mengapa kamu nangis, Bapak kamu tersangka? Dosennya bilang begitu," kata Panda. Lalu, "Ketika saya hadir di pesta, semua orang buang muka dari saya," ujar Panda.

Cerita Panda tak selesai di sana. "Sekarang ini, kalau ada orang yang saya telepon, terus tak mau diangkat, alasannya karena telepon Pak Panda takut disadap," ujarnya.

KPK menyangkakan Panda dan para anggota DPR itu melanggar ketentuan mengenai penyuapan yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Sumber : Vivanews

Selasa, 05 Oktober 2010

Cirus Sinaga Tidak Terlibat Kasus Gayus


Kejaksaan Agung telah merampungkan evaluasi bersama sejumlah jaksa yang menangani perkara mafia pajak dan hukum Gayus Tambunan. Kesimpulan akhir, Kejaksaan menilai Cirus Sinaga tidak terlibat tindak pidana dalam perkara Gayus.

"Hasil yang kami simpulkan, tidak diperoleh bukti peranan Jaksa CS dari segi pidana. Tidak ada satu bukti pun terkait penerimaan dana atau suap," ujar Jaksa Agung Darmono usai rapat pimpinan di Kejaksaan Agung, Selasa 5 September 2010.

Darmono menambahkan, "upaya menghalangi penyidikan itu hanya bisa dilakukan oleh orang di luar penyidik atau penuntut umum. Sehingga dengan demikian, dari fakta yang kita peroleh sejauh ini belum diperoleh bukti yang cukup."

Terkait aspek pidana, Darmono menyerahkan sepenuhnya pada kewenangan Mabes Polri. "Dan kami siap menindak lanjuti hasil temuan Mabes Polri," ujar Darmono.

Jaksa Cirus Sinaga telah dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah karena kasus Gayus ini. Selain Cirus, mantan Direktur Pra-Penuntutan Kejaksaan Agung Poltak Manulang juga dicopot.

Saat itu, Cirus dan Poltak dinilai sengaja tidak cermat dalam menangani perkara pajak Gayus Tambunan. Tim pengawas internal Kejaksaan Agung menilai, Cirus dan Poltak merupakan pejabat yang paling bertanggungjawab dalam perkara Gayus Tambunan.

Keduanya dinilai melanggar pasal 2 huruf f, g, h, serta pasal 3 huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS. Tim pengawasan internal kejaksaan yang dipimpin oleh Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi, Suroso, itu telah memeriksa 9 orang.

Sementara dalam sidang, Gayus Tambunan menyatakan bahwa dirinya menggelontorkan uang Rp20 miliar melalui pengacaranya. uang ini untuk memuluskan agar rekeningnya di sejumlah bank dan rumah tidak disita. Gayus menyebut, Rp5 miliar diserahkan untuk jaksa.

Sumber : Vivanews

Senin, 04 Oktober 2010

Hamka Yandhu Jadi Saksi Golkar di KPK

 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini memeriksa mantan legislator, Hamka Yandhu terkait dengan pengusutan kasus suap yang menjerat 26 mantan anggota DPR lainnya dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 yang dimenangkan Miranda Swaray Goeltom.

"Diperiksa sebagai saksi untuk Golkar," ucap Hamka yang mengenakan kemeja putih bergaris kepada wartawan sebelum memasuki gedung KPK, Jakarta, Senin 4 Oktober 2010.

Hamka tiba di Kantor KPK sekitar pukul 10.30 Wib diantar menggunakan mobil tahanan dari Rumah Tahanan Kelas I Cipinang.

Pada Senin 17 Mei 2010, Hamka Yandhu divonis pidana 2,5 tahun dalam kasus suap saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Selain itu, Hamka diwajibkan membayar uang denda Rp 100 juta.

Vonis Hamka ini paling berat dibandingkan vonis-vonis rekan sejawatnya yang sudah disidang sebelumnya, yakni Udju Juhaeri (2 tahun), Dudhie Makmun Murod (2 tahun), dan Endin AJ Soefihara (1 tahun 3 bulan).

Dalam kasus ini, sebanyak 26 anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 juga telah ditetapkan sebagai tersangka. KPK menduga 26 politisi yang berasal dari Fraksi Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, dan Fraksi PPP menerima suap usai memilih Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Namun, Miranda Swaray Goeltom pada Senin 5 April 2010 membantah telah mengeluarkan 480 lembar cek perjalanan pasca dirinya terpilih menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2009.

"Saya kaget ada hal itu," kata Miranda saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Miranda mengaku baru mengetahuinya setelah ada pengakuan dari Agus Condro Prayitno.

KPK menyangkakan para mantan anggota DPR itu melanggar ketentuan mengenai penyuapan, yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana

26 mantan anggota DPR yang diduga menerima suap adalah:
Golkar
1. Ahmad Hafiz Zawawi (AHZ) Rp600 juta
2. Marthin Bria Seran (MBS) Rp250 juta
3. Paskah Suzetta (PSz) Rp600 juta
4. Boby Suhardiman (BS) Rp500 juta
5. Antony Zeidra Abidin (AZA) Rp600 juta
6. TM Nurlif (MN) Rp550 juta
7. Asep Ruchimat Sudjana (ARS) Rp150 juta
8. Reza Kamarullah (RK) Rp500 juta
9. Baharuddin Aritonang (BA) Rp350 juta
10. Hengky Baramuli (HB) Rp500 juta

PDIP
1. Agus Condro Prayitno (ACP) Rp500 juta
2. Max Moein (MM) Rp500 juta
3. Rusman Lumbantoruan (RL) Rp500 juta
4. Poltak Sitorus (PS) Rp500 juta
5. Williem Tutuarima (WMT) Rp500 juta
6. Panda Nababan (PN) Rp1,45 miliar
7. Engelina Pattiasina (EP) Rp500 juta
8. Muhammad Iqbal (MI) Rp500 juta
9. Budiningsih (B) RP500 juta
10. Jeffrey Tongas Lumban (JT) Rp500 juta
11. Ni Luh Mariani Tirtasari (NLM) Rp500 juta
12. Sutanto Pranoto (SP) Rp600 juta
13. Soewarno (S) Rp500 juta
14. Matheos Pormes (MP) Rp350 juta

PPP1. Sofyan Usman (SU) Rp250 juta
2. Daniel Tandjung (DT) Rp500 juta.

Sumber : Vivanews

Rabu, 29 September 2010

Susno Duadji Terancam Dipenjara Seumur Hidup


Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Komisaris Jenderal Susno Duadji terancam hukuman seumur hidup. Hukuman ini akan diterima Susno jika dia terbukti melakukan dua tindak pidana korupsi.

Dalam dakwaan pertama, Susno dituduh menerima uang sebesar Rp500 juta dari Haposan Hutagalung melalui Sjahril Djohan. Uang tersebut diberikan kepada Susno terkait penyidikan kasus dugaan penggelapan modal usaha penangkaran ikan arowana dan modal indukan arwana yang berjalan lambat.

"Haposan Hutagalung selaku pengacara Mr Ho Kiah Huat mencari jalan untuk mempercepat proses penanganan kasus tersebut," kata Jaksa Erbagtyo Rohan, ketika membacakan dakwaan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 29 September 2010.

Dalam dakwaan disebutkan, bahwa Haposan bertemu Susno di ruangan Susno untuk membicarakan hal tersebut. Kemudian, Sjahril Djohan menyerahkan uang senilai Rp500 juta tersebut di rumah Susno, di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. "Sus, ini uang arowana dari Haposan," kata Sjahril, seperti yang tercantum dalam dakwaan. "Ya makasih, Bang," kata Susno.

Setelah itu, kemudian Susno memberikan memo yang menyebutkan agar perkara arowana dilengkapi pemeriksaannya untuk menentukan langkah selanjutnya. Selain itu, dalam dakwaan juga disebutkan bahwa Susno memerintahkan kepada anak buahnya untuk menjelaskan kronologis kasus Arwana. "Sudah, tangkap, sita, dan Police Line saja," kata Jaksa, mengutip pernyataan Susno.

Selain itu, jaksa juga menjerat Susno dengan kasus dugaan pemotongan anggaran dana pengamanan pilkada Jawa Barat tahun 2008 yang berasal dari dana hibah pemerintah daerah propinsi Jawa Barat senilai Rp8.169.847.657. Dalam kasus ini, Susno didakwa bersama-sama dengan Maman Abdurrahman Pasya, Yultje Apryanti, dan Iwan Gustiawan.

"Terdakwa Susno selaku kuasa pengguna anggaran, tidak memasukkan dana hibah pengamanan pilkada jawa barat tersebut ke dalam rekening atas nama Kapolda Jawa Barat," kata Jaksa.

Susno justru memerintahkan Maman Abdurahman Pasya, untuk membuat rekening tersendiri di Bank Jabar atas nama Maman Abdurahman Pasya.

Kemudian dana hibah tersebut, didistribusikan kepada satuan kerja wilayah Jabar dalam empat tahap. Tiga tahap sebelum pelaksaan pilkada dan satu tahap ketika masa penghitungan suara.

Namun menjelang realisasi tahap IV, Susno memerintahkan Maman Abdurrahman untuk melakukan pemotongan. "Terdakwa melakukan perubahan alokasi distribusi dana hibah pengamanan pilkada Jabar tahun 2008 dan membuat daftar perincian pemotongan dana hibah tahap IV," kata jaksa.

Kemudian uang hasil pemotongan dana tersebut beserta buanganya yang tersimpan di Bank Jabar dipindah ke rekening Bank Mandiri senilai Rp7.192.248.316 atas nama Maman Abdurrahman dan sisanya berjumlah Rp805.100.000 di kelola secara tunai oleh Maman Abdurrahman.

Susno didakwa dengan dua pasal tindak pidana korupsi yaitu Pasal 12 huruf (a) atau huruf (b), atau huruf B, atau Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11 juncto Pasal 18 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 2 ayat (1), atau Pasal 3, atau Pasal 12 (f), atau Pasal 8 juncto Pasal 18 Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman dari pasal-pasal tersebut adalah maksimal penjara seumur hidup.

Senin, 27 September 2010

"Grasi ke Syaukani Pembelajaran Pemerintah"

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar, menegaskan, pemberian grasi kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hassan Rais, sudah final.

"Tidak ada sejarahnya grasi dibatalkan," kata Patrialis di gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Jumat 24 September 2010.

Sekalipun kondisi kesehatan membaik, Patrialis menyatakan, putusan soal grasi yang diberikan kepada mantan orang nomer satu di Kutai Kartanegara ini tidak bisa dicabut.

Namun, dia ingin semua pihak memastikan kondisi terkini kesehatan Syaukani. Sebab, jika memang benar kondisinya membaik, Patrialis menyayangkan hal itu serta dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam memberikan grasi.

"Kalau memang iya (sehat), berarti terjadi pembohongan terhadap kita. Tapi saya sudah tanya ke pengacaranya. Katanya sakit. Kata dokter juga sakit dan tidak mungkin sembuh," tuturnya.

Dalam pemberitaan di media lokal di Kalimantan Timur, disebutkan kondisi Syaukani berangsur membaik. Bahkan mantan orang nomor satu di Kutai Kartanegara itu sudah dapat berbicara meski terbata-bata dan berdiri meski ditopang alat bantu. Syaukani saat ini tengah dirawat di Pendopo Odah Etam, Tenggarong, Kalimantan Timur.

Seperti diketahui, melalui surat Grasi bernomor 7/G Tahun 2010 tertanggal 15 Agustus 2010, hukuman Syaukani dipotong dari enam tahun menjadi tiga tahun. Syaukani pun langsung bebas pada 18 Agustus 2010.

Pembebasan itu dilakukan lantaran Syaukani telah menjalani hukuman selama lebih dari tiga tahun. Selain itu, Syaukani juga sudah melunasi denda dan mengembalikan kerugian negara melalui KPK senilai Rp49,6 miliar.

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, menyatakan pemberian grasi itu dikarenakan pertimbangan kemanusiaan. "Pasti ada pertimbangan kemanusiaan, karena Syaukani dalam kondisi sakit. Badannya sudah seperti mayat," kata Patrialis.

Patrialis menjelaskan, grasi yang mencapai setengah masa tahanan tersebut diberikan Presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung.

Syaukani ditahan sejak 16 Maret 2007 karena disangka telah melakukan empat tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp120 miliar saat menjabat sebagai bupati tahun 2001-2006.

Sumber : Vivanews

Kamis, 23 September 2010

ICW: Pemekaran Daerah, Pemekaran Korupsi

Indonesia Corruption Watch menengarai pemekaran daerah berbanding lurus dengan peningkatan kasus korupsi di daerah.
Wakil Koordinator ICW Emerson Juntho menyatakan, "Pemekaran daerah berpotensi memekarkan korupsi."

Dalam diskusi di gedung Dewan Perwakilan Daerah, Jakarta, Jumat 24 September 2010, Emerson menyebut 250 daerah baru adalah bukti pemekaran korupsi. ICW mencatat ada 1.800 kasus korupsi di daerah pemekaran.

Menurut Eson, begitu panggilan Emerson, problem korupsi dikarenakan pengawasan sangat minim untuk Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, dana bantuan bencana, dana pilkada, dan lainnya. Di tambah lagi penegakan hukum yang lemah.

Dalam kurun waktu 2004-2009, ICW mencatat ada 1.243 anggota DPRD yang terjaring kasus korupsi. Tetapi saat divonis, kata Eson, hampir separuhnya dibebaskan oleh pengadilan.

"Ini kontradiktif. Kejaksaan telah berupaya keras membawa kasus korupsi itu banyak, yang melibatkan anggota legislatif daerah, ternyata dibebaskan di pengadilan," katanya.

Saat meresmikan pemindahan Ibukota Provinsi Maluku Utara pada 4 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan pemekaran harus memperhitungkan banyak aspek, terutama pembangunan sarana dan prasarana pelayanan publik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan, tidak boleh dana pemekaran habis untuk membangun fasilitas pejabatnya saja.

Menurut Presiden SBY, seperti dilansir laman resminya, setelah dievaluasi terdapat 85 persen daerah otonom baru yang tidak cukup untuk melakukan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
"Oleh karena itu, mumpung belum berjalan terlalu jauh, saya ingatkan kepada para gubernur, bupati, dan walikota seluruh Indonesia, kalau ada anggaran dari pusat ataupun daerah utamakan untuk kepentingan publik dan kepentingan rakyat," ujar SBY.

Hary Tanoe Datangi Kejagung 1 Oktober


Pengusaha Hary Tanoesoedibjo tidak dapat memenuhi panggilan Kejaksaan Agung untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum (Sisminbakum).

"Pak Hary Tanoe sedang berada di luar negeri dan akan kembali akhir bulan ini," kata pengacara Hary, Andy F. Simangunsong di Kejaksaan Agung, Kamis, 23 September 2010.

Andy menjelaskan kliennya sedang mengikuti serangkaian pertemuan di Beijing. "Antara lain pertemuan Indonesia-China bidang IT dan telekomunikasi. Itu dilaksanakan Kementerian Komunikasi dan Informatika," katanya.

Menurut Andy, Hary akan datang ke Kejaksaan Agung pada 1 Oktober mendatang. "Pak Hary Tanoe akan datang tanpa dipanggil," dia menegaskan.

Andy mengaku bingung dengan panggilan jaksa terhadap kliennya. Dia merujuk pada pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji beberapa waktu lalu. "Katanya saksi perkara ini sudah cukup kalau tak datang tak apa-apa. Lalu sebenarnya buat apa lagi dipanggil?" Andy mempertanyakan.

Kakak Hary, Hartono Tanoe, adalah Komisaris PT Sarana Rekatama Dinamika. Dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang dituduhkan Kejaksaan Agung telah merugikan negara Rp400 miliar. PT Sarana adalah rekanan Kementerian Hukum dan HAM dalam pengadaan Sisminbakum. Kasus ini pernah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi tak berlanjut.

Selasa, 21 September 2010

Ito: Belum Ada Indikasi Pidana Century


Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Ito Sumardi melaporkan hasil pemeriksaan terakhir kasus Century kepada tim pengawas DPR.

"Perkembangannya ada banyak, Tapi perkembangan mengarah kepada tindak pidana, belum," kata Ito sebelum rapat di Gedung DPR RI, Rabu 22 September 2010.

Ito menegaskan, belum ditemukan unsur pidana dalam penggelontoran dana talangan Rp6,7 triliun ke Bank Century .

"Karena itu kan proses yang berlangsung dalam mekanisme dan prosedur perbankan," tambah dia.

Apa yang disampaikan mantan Kabareskrim, Susno Duadji, kata Ito masih gambaran kasar. "Semuanya harus dibuktikan secara hukum uang itu dari mana asalnya.

Kepolisian, tambah dia, juga belum bisa memastikan berapa nominal aset itu yang bisa diselamatkan.

"Begini ya penangangan kasus Bank Century ini, kan ada beberapa perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan dari domain masing-masing institusi penegak hukum. Tak hanya pidananya saja."

"Kalau pidananya kan kita [polisi] sudah lakukan maksimal, bahkan sudah ditangkap, sudah diajukan ke pengadilan, sudah divonis, bahkan sekarang sudah menjalani hukuman (Robert Tantular]. Nah yang lain-tentu itu tentunya bukan merupakan ranah kepolisian. Ini yang perlu dipahami."

Ditambahkan Ito, polisi serius. "Bahkan dengan rekomendasi DPR itu kita sudah membentuk lima tim khusus bekerja secara simultan, kita sudah memeriksa sekian puluh pejabat perbankan."

"Hasilnya memang untuk perbuatan pidananya belum bisa kita temukan," tambah dia.

Senada, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menemukan kerugian negara dalam skandal dana talangan (bail out) Bank Century senilai Rp6,7 triliun. Sebab, dana talangan dari pemerintah itu masih diputar oleh Bank Mutiara, nama baru Bank Century.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPK M Jasin di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Senin 20 September 2010.

"Sehingga tidak bisa dikatakan dana dari pemerintah tersebut habis atau rugi," kata dia. Selain itu, sambungnya, dana dari pemerintah tersebut berjangka hingga tahun 2012 dan masih ada waktu satu tahun bagi Bank Mutiara untuk mengembalikan pernyertaan modal sementara kepada pemerintah.

“Karena belum ada bukti kuat tentang kerugian negara dalam skandal Bank Centry ini maka KPK saat ini akan (fokus) melakukan pengkajian terhadap para pejabat negara atau penegak hukum yang diduga kuat menerima suap dari Bank Century,” kata dia.

Sebuah Kisah tentang Korupsi


Penggalan puisi itu dibawakan Budi Darma, seorang sastrawan, dalam diskusi di harian Kompas tahun 2003, di mana saya ikut hadir. Diterangkanlah makna puisi itu bahwa untuk menjadi hulubalang waktu itu, seseorang harus berani menjarah. Dan untuk mempertahankan jabatannya, orang itu harus berani menjarah, menjarah uang negara dan menjarah uang rakyat.

Melacak jejak korupsi di bumi Nusantara juga bisa dilihat dalam penuturan Budi Darma ke masa kolonial. Ia mengutip pengakuan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memorinya 15 April 1805. Berdasarkan pengisahan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard kaya raya karena sogokan orang pribumi yang menginginkan jabatan. Engelhard tinggal memilih upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.

Pendapat bahwa korupsi menjadi bagian dari keseharian menimbulkan silang pendapat. Ada yang menolak, tetapi ada pula yang mendukung. Wakil Presiden Mohammad Hatta termasuk yang mendukung pendapat korupsi telah menjadi bagian dari keseharian kita. ”Korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari kebudayaan,” kata Hatta (Jurnal Aksara, Tempo, 19 Februari 2001).

Penulis buku yang populer di Indonesia, Samuel P Huntington, mengaitkan antara budaya dan korupsi. Bersama Lawrence E Harrison dalam buku Culture Matters: How Values Shape Progress (2000), Huntington menulis, ”... Di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika....”

Huntington menulis, korupsi paling rendah di negara Eropa bagian utara dan persemakmuran Inggris yang Protestan. Negara penganut Konghucu kebanyakan berada di tengah-tengah. Tapi Huntington mengecualikan Singapura sebagai negara yang bersih sejajar dengan Denmark, Swedia, dan Finlandia. ”Anomali Singapura adalah kepemimpinan Lee Kuan Yew,” tulis Huntington.

Di Indonesia, ada keinginan kuat memberantas korupsi, tetapi ada juga yang sebenarnya ingin tetap mempertahankan tata hubungan sosial yang korup. Namun nyatanya, kekuasaan Orde Baru berakhir karena korupsi. Era reformasi datang. Di jalan-jalan dan di ruang sidang parlemen, 10 tahun lalu, terdengar teriakan, ”Hukum mati koruptor!” Perlu aturan soal pembuktian terbalik! Dari gedung MPR lahir Ketetapan MPR No XI/1998 yang salah satunya meminta pengusutan terhadap koruptor dan mewajibkan penyelenggara negara melaporkan kekayaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir sebagai anak kandung reformasi.

Kehadiran KPK amat diharapkan. KPK lahir karena ada ketidakpercayaan kepada lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. KPK menggebrak. Ada mantan Kepala Polri diadili, ada politisi tertangkap basah, ada jaksa tertangkap tangan sedang memperdagangkan perkara. Jurus KPK membuat banyak pihak jengah. Namun, indeks korupsi Indonesia membaik. Pemberantasan korupsi adalah pencapaian signifikan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, karena gebrakan KPK itu pulalah, KPK kini menjadi musuh bersama. Ia diserang. Pengadilan korupsi dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sampai 19 Desember 2009. DPR dan pemerintah berkewajiban memberikan landasan hukum soal pengadilan korupsi. Namun, alih-alih memperkuat eksistensi Pengadilan korupsi, politisi DPR dengan dalih ”menata sistem” malah berniat mengamputasi kewenangan KPK, melucuti kewenangan penuntutan.

Teriakan hukum mati koruptor tak lagi terdengar. Dari Senayan kini malah terdengar teriakan, ”Kembalikan kewenangan penuntutan kepada kejaksaan”. ”Penyadapan harus izin ketua pengadilan”. ”Janganlah KPK merasa paling jujur”.

KPK dirundung masalah. Ketua KPK Antasari Azhar segera menjadi terdakwa. Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri atas tuduhan penyalahgunaan wewenang ketika mencekal Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra. Keduanya buronan! Publik ragu atas tuduhan itu. Namun, menjadi kewajiban Polri untuk membuktikan tuduhannya. Jika gagal, reputasi Polri yang lagi naik karena pemberantasan terorisme akan hancur.

Korupsi adalah perang yang belum mampu kita menangi. Ia telah menjadi sesuatu yang banal, sesuatu yang biasa. Tidak ada kondisi sosial yang cenderung melawan korupsi (indignation), di mana masyarakat tidak bisa menerima atau protes terhadap perilaku korupsi pejabat yang menumpuk kekayaan secara ilegal.

Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan menggambarkan situasi indignation seperti saat setelah Revolusi Perancis. Di sana, para bangsawan, orang kaya tidak berani menunjukkan diri bahwa mereka kaya. Mereka takut dikejar-kejar rakyat karena dianggap pengisap rakyat, koruptor, dan menyalahgunakan kekayaan negara.

Sebagaimana ditulis Huntington, jika korupsi diterima sebagai budaya atau terkait dengan budaya, maka faktor kepemimpinanlah yang akan menentukan. Kepemimpinan yang kokoh, dan kondisi sosial yang melawan korupsi, bisa menjadi bekal perang melawan korupsi. Perkembangan sepekan ke depan akan mengindikasikan apakah kita sedang dalam arus balik pemberantasan korupsi.

Sumber : Kompas

Senin, 20 September 2010

2 Tersangka KPK terpilih Jadi Bupati

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai terpilihnya dua tersangka korupsi, Jeferson Rumaja dan Yusak Yeluwo, sebagai kepala daerah adalah akibat minimnya informasi di masyarakat.

"Masyarakat kekurangan informasi bahwa calon yang mereka pilih adalah tersangka korupsi," kata Wakil Ketua KPK, Haryono Umar, di Gedung KPK, Jakarta, Senin 6 September 2010.

Seperti diketahui, Jeferson kembali terpilih menjadi Wali Kota Tomohon periode 2010-2015. Begitu juga Yusak Yeluwo yang kembali terpilih menjadi Bupati Boven Digul.

Wakil Ketua KPK, M Jasin, menambahkan, akibat dari minimnya informasi itu dapat mengakibatkan pemborosan anggaran dalam pelaksanaan pemilukada. "Mereka yang terpilih itu kan nantinya pasti tidak bisa dilantik akibat ditahan," ujar Jasin.

Jeferson menjadi tersangka sejak Juli 2010. Dia diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi penggunaan dana APBD 2006-2008 Kota Tomohon.

KPK menduga dana APBD tersebut digunakan Jefferson untuk bantuan sosial yang diduga fiktif. Sebagian juga digunakan untuk kepentingan pribadi. Akibat dari tindakannya itu, negara diduga dirugikan Rp19,8 miliar.

Sementara itu, Yusak Yaluwo juga diduga telah menyelewengkan anggaran Kabupaten Boven Digul, Papua, saat menjabat sebagai bupati. Atas perbuatan terdakwa, keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Boven Digoel diduga mengalami kerugian sebesar Rp66,77 miliar.

Pedangdut Fitria Elvi Sukaesih Diperiksa KPK


Penyanyi dangdut Fitria Elvie Sukaesih, diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Putri dari ratu dangdut Elvie Sukaesih ini diperiksa KPK terkait kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Langkat tahun 2000-2007.

Dia mengaku pernah menerima imbalan uang dari tersangka Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Syamsul Arifin. Namun ditegaskannya, pemberian uang tersebut merupakan honor atas penampilannya sebagai biduanita.

"Saya seringkali ngisi acara (nyanyi). Itu yang saya kasih keterangan (kepada penyidik)," ujar Fitria di gedung KPK, Jakarta, Senin 20 September 2010.

Dia menyatakan, bahwa dirinya memang kenal baik dengan mantan Bupati Langkat itu. "Sudah kenal dari jaman Nabi Adam," ucap Fitria sambil tersenyum.

Ia meninggalkan gedung KPK pukul sekitar 18.05, dia dijemput mobil sedan Camry warna silver bernomor polisi B 2370 FI.

Hari ini Fitria diperiksa oleh penyidik KPK dengan kapasitas sebagai saksi. Selain selebritis tersebut, komisi juga memeriksa Pemimpin Redaksi Waspada, Teruna Jasa Sahid.

KPK telah menetapkan Syamsul Arifin sebagai tersangka korupsi APBD Langkat. Syamsul diduga menyelewengkan dana APBD Langkat saat menjabat sebagai bupati. Dia diduga turut bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp31 miliar.

Nilai kerugian itu di luar uang yang telah dikembalikan oleh Syamsul ke Kabupaten Langkat. Syamsul telah mengembalikan uang ke kas kabupaten sekitar Rp62 miliar dari dugaan kasus senilai Rp102,7 miliar itu.

KPK menjerat Syamsul dengan Pasal 2 ayat (1), dan atau Pasal 3, dan atau Pasal 8 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Syamsul juga telah dilarang bepergian ke luar negeri oleh imigrasi sejak 16 April 2010.

Sabtu, 18 September 2010

Kritik Korupsi IMF Diamini Fraksi Hanura

VIVAnews - Fraksi Hanura sepakat dengan kritik Badan Dana Moneter Internasional (MF) yang menilai salah satu hambatan perbaikan ekonomi Indonesia adalah kasus korupsi. Pemerintah Indonesia dinilai masih memberikan 'angin segar' buat koruptor.

"Iya. Bagaimana bisa dilakukan pemberantasan korupsi kalau pemerintah masih memberikan ruang terhadap para pelaku korupsi," kata Sekretaris Fraksi Hanura Syarifuddin Suding saat dihubungi VIVAnews, Jumat 17 September 2010.

Syarifuddin mengambil contoh masih adanya ruang dari pemerintah untuk koruptor itu. Yakni, dengan memberikan remisi dan grasi secara 'besar-besaran' kepada para koruptor.

"Ini kan berarti bertolak belakang. Itu mencederai semangat pemberantasan korupsi yang saat ini sedang dikampanyekan berbagai kalangan," kata anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Tengah itu.

Syarifuddin menegaskan, pemberian remisi dan grasi itu ibarat memberikan angin surga kepada para koruptor. Maka itu, Hanura merasa prihatin atas pemberantasan korupsi yang tengah dilakukan pemerintah.

"Saya kira lembaga-lembaga internasional melihat langkah-langkah pemerintah seperti ini tentu sangat menyayangkan," kata anggota Komisi III DPR yang juga membidangan masalah hukum itu.

Laporan tahunan IMF yang dipublikasikan Kamis 16 September 2010 waktu Washington DC menyarankan Indonesia untuk memperbaiki hambatan-hambatan perbaikan ekonomi, terutama dalam memerangi korupsi. Saran itu diberikan agar Indonesia ingin tampil sebagai salah satu negara yang memiliki kinerja ekonomi yang terbaik.

Seperti diketahui, pemberian remisi kepada para koruptor dan narapidana dilakukan pemerintah secara 'otomatis' setiap Hari Ulang Tahun RI dan Hari Raya Keagamaan.
Pemberian remisi dilakukan bagi narapidana yang sudah memenuhi dua pertiga masa tahanan dan berkelakuan baik. Terakhir, pemerintah memberikan grasi atau pengampunan kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hasan Rais sebanyak tiga tahun.

Sabtu, 11 September 2010

Dua Saksi Absen, Sidang Misbakhun Ditunda

VIVAnews - Sidang lanjutan kasus dugaan pemalsuan dokumen dengan terdakwa anggota DPR Mukhammad Misbakhun ditunda. Penundaan dilakukan karena dua saksi yang dijadwalkan tidak hadir.

"Saksi yang harusnya memberi keterangan tidak bisa hadir," kata Ketua Majelis Hakim Pramoedhana Kusumaatmadja, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin 30 Agustus 2010.

Dua saksi yang dijadwalkan hadir itu yakni notaris Buntario dan petugas Bea Cukai Tuban Nur Indra Prahara. Menurut hakim, dua saksi itu merupakan saksi fakta terakhir yang diajukan jaksa.

Setelah itu, jaksa akan menghadirkan ahli, dosen hukum pidana UI Indra Agus Seno Adji. Sidang berikutnya rencananya akan digelar Rabu 1 September 2010 mendatang.

"Setelah itu saksi yang meringankan terdakwa dan konfrontir," kata Pramoedhana. Misbakhun tampak didampingi istrinya di ruang sidang.   

Dalam sidang itu, pengacara Misbakhun Luhut Simanjuntak bertanya pada hakim apakah sudah ada jawaban permohonan penangguhan penahanan. "Pak, ini permintaan kita dari awal, penangguhan penahanan gimana," kata Luhut.

Namun, hakim tidak menjawab. Justru mengumumkan penundaan sidang dan sidang berikutnya Rabu 1 September 2010.

Misbakhun yang juga Komisaris PT Selalang Prima Internasional (SPI) terseret kasus Bank Century. Dia bersama Direktur PT SPI Franky Ongkowardojo didakwa turut serta pemalsuan dokumen perbankan bersama pengelola Bank Century.

Istri Misbakhun Ajak Anak Lebaran di Penjara


Bahagia bercampur sedih. Itulah yang dirasakan istri Misbakhun, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terjerat kasus letter of credit (L/C) fiktif Bank Century. Demi merayakan lebaran bersama, sang istri nekat mengajak dua buah hatinya yang masih balita ke rumah tahanan.

Eni, istri Misbakhun, mengatakan, baru pertama kali membawa anak-anak ke tempat tahanan ayahnya di Gedung Bareskrim Mabes Polri. "Anak-anak tidak tahu bapaknya di sini. Tapi sekarang kami bawa," kata Eni dengan rona wajah memerah, Sabtu, 11 September 2010.

Eni mengatakan, suaminya dalam kondisi sehat dan sangat gembira melihat anak-anaknya datang menjenguk. Suaminya lebih bersemangat karena selain keluarga, sejumlah kerabat dan sahabat juga datang bersilaturahmi. "Termasuk staf-stafnya kemarin juga ada yang berlebaran di sini," kata dia.

Meski baru sekali berjumpa sejak ditahan April lalu, Misbakhun tidak menitipkan pesan khusus untuk anak-anaknya. Ia hanya berucap kepada sang istri agar sabar karena ia tidak boleh pulang ke rumah. "Alhamdulillah, anak-anak juga mengerti kok kondisi bapaknya," kata dia. "Tadi waktu kami jenguk, Bapak langsung puasa syawal."

Eni terlihat keluar dari Gedung Bareskrim Mabes Polri sekitar pukul 12.00 WIB. Ia terlihat menggandeng dua anaknya yang masih balita. Tampak pula dua anak lainnya yang lebih dewasa.

Misbakhun merupakan tersangka kasus pemalsuan dokumen dalam pengajuan L/C Bank Century. Pemilik dan pemegang saham mayoritas PT Selalang Prima Internasional itu diduga memalsukan kontrak bisnis saat mengajukan L/C ke Bank Century. Kasus itu juga menyeret mantan Dirut Bank Century Robert Tantular sebagai tersangka.

Mendekam di penjara, Misbakhun kini tak bisa menjalani tradisi mudik ke Pasuruan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Jumat, 10 September 2010

Mengapa PDIP Tak Mau Voting

VIVAnews - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berharap calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipilih secara aklamasi. Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo nilai dua calon pimpinan KPK yang disampaikan ke DPR adalah orang baik.

Sebagaimana diketahui dua calon Pimpinan KPK adalah Busryo Muqoddas dan Bambang Widjojanto. Keduanya sudah disetujui presiden dan diserahkan ke DPR.

"Kami tidak mau voting karena hanya dua," kata Tjahjo saat bersilaturahmi ke rumah Megawati Soekarnoputri, Jalan Teuku Umar, Jakarta, Jumat 10 September 2010.

Sedapat mungkin, kata dia, PDIP akan memilih proses aklamasi dalam pemilihan di Komisi III bidang Hukum DPR.

Siapa yang didukung PDIP? "Soal akan mengambil 1 orang itu nanti pada saat terakhir," katanya.

Namun, Tjahjo menilai calon yang nanti terpilih lebih baik menjabat selama empat tahun, tidak disamakan dengan pimpinan KPK periode saat ini yang akan berakhir masa jabatannya tahun depan. "Jangan sampai hanya setahun karena tidak ada artinya," kata dia.

Dia menilai harus ada pertemuan khusus antara pimpinan DPR, ketua fraksi, dan presiden. "Ini kan harus cari pengganti Antasari Azhar, tapi seleksinya cukup lama," kata dia.
• VIVAnews

Rabu, 08 September 2010

Penyuap Kasus Gayus Dituntut

VIVAnews - Alif Kuncoro, terdakwa kasus mafia hukum Gayus Tambunan, siang ini dijadwalkan menghadapi tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 1 September 2010.
Sebelumnya jaksa menunda tuntutan terhadap Alif, dikarenakan tuntutan jaksa belum selesai.

"Ya, hari ini tuntutannya (Alif Kuncoro)," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, M Yusuf, ketika dihubungi, Rabu 1 September 2010.

Diketahui, Alif Kuncoro didakwa memberikan suap kepada Komisaris Polisi M Arafat Enanie berupa motor Harley Davidson senilai lebih kurang  410 juta.

Dia memberikan motor tersebut agar adiknya, Imam Cahyo Maliki,  tidak dijadikan tersangka sehubungan dengan kasus pencucian uang dan korupsi Gayus Tambunan.

Arafat sendiri membantah bahwa motor tersebut merupakan pemberian. Arafat beranggapan motor Harley warna hitam itu merupakan motor yang dititipkan Alif Kuncoro kepada dirinya. (hs)
• VIVAnews

Gayus Terancam Dipenjara 20 Tahun

VIVAnews - Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, dijerat empat pasal undang-undang korupsi. Gayus pun terancam dipenjara maksimal selama 20 tahun.

Pada dakwaan pertama, Gayus dijerat secara bersama-sama dengan Penelaah Keberatan dan Banding, Humala Setia Leonardo Napitupulu; Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan I, Maruli Pandapotan Manurung; Kepala Sub Direktorat Pengurangan dan Keberatan, Johnny Marihot Tobing; dan Direktur Keberatan dan Banding, Bambang Heru Ismiarso.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara," kata Jaksa Rhein Singal, ketika membacakan dakwaan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 8 September 2010.

Gayus dijerat, terkait perbuatannya mengurangi keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal dengan total Rp570.952.000. Jaksa menilai, akibatnya perbuatan Gayus, PT Surya Alam Tunggal telah diuntungkan.

"Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Jaksa. Selain itu Gayus juga dijerat Pasal 3 ayat (1) Jo pasal 18 Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Selain perkara pajak, Gayus juga dijerat perkara mafia hukum sehubungan penanganan kasus Gayus sebelumnya. Dalam dakwaan kedua, Gayus dijerat bersama-sama dengan mantan pengacaranya, Haposan Hutagalung melakukan atau turut serta melakukan penyuapan terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara.

"Perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Haposan Hutagalung dalam memberikan uang kepada penyidik dimaksudkan agar penyidik tidak melakukan kewenangannya sebagai penyidik," kata jaksa.

Kewenangan maksud Jaksa, adalah kewenangan penyitaan rumah terdakwa dan uang dalam rekening Bank Mandiri milik terdakwa yang diduga terkait tindak pidana.

Atas perbuatannya, terdakwa dijerat primair Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsidair Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.

Jaksa juga menjerat Gayus terkait suap yang diberikan Gayus kepada hakim Muhtadi Asnun. Dia diancam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terakhir, Gayus didakwa telah memberikan keterangan yang tidak benar untuk kepentingan penyidikan terkait harta benda yang dimilikinya yang diduga ada hubungan dengan tindak pidana korupsi. "Pada tahun 2008 terdakwa telah beberapa kali menerima uang dari para wajib pajak dan atau konsultan pajak berjumlah Rp28 milyar," kata jaksa Arief Indra.

Selain itu terdakwa juga membuat konsep perjanjian yang isinya seolah-olah dana yang diblokir oleh Mabes Polri adalah milik Andi Kosasih. "Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana pasal 28 UU 31 tahun 1999." imbuhnya.
• VIVAnews

JORR W2 Terkendala Pembebasan Lahan

VIVAnews - Pembangunan Jakarta Outer Ring Road West II (JORR W2) masih terkendala pembebasan lahan. Sampai kemarin lahan yang telah dibebaskan di wilayah Jakarta Selatan baru sekitar 11.383 meter persegi.

Ketua Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Jakarta Selatan Mangara Pardede mengatakan, rumitnya pembebasan lahan yang saat ini dibutuhkan dikarenakan belum adanya kecocokan harga.

Harga yang diminta oleh warga terlalu tinggi, sehingga pihaknya masih harus melakukan perundingan kembali. "Sejak tahun lalu harga yang diminta oleh warga cukup tinggi," katanya, Senin 30 Agustus 2010.

Untuk itu, pihaknya juga telah melakukan pertemuan dengan warga untuk melakukan musyawarah penetapan harga. Musyawarah tersebut dilakukan pada tangga 23-24 Februari di Kelurahan Petukangan Utara dan Petukangan Selatan.

Namun, hingga kemarin keputusan harga tidak kunjung selesai hingga akhirnya P2T memutuskan harga yang dipakai adalah harga batas atas dan diatas dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Menurutnya, kini harga yang ditawarkan mulai dari yang terendah sekitar Rp920 ribu hingga Rp3,9 Juta. "Sampai saat ini baru ada 28 bidang yang telah dibayar, 21 di Petukangan Utara dan 7 di Petukangan Selatan," jelasnya. Sementara, lahan yang harus dibebaskan ada sekitar 732 bidang lagi.

Sekretaris P2T yang juga kepala BPN Jakarta Selatan, Jaya mengatakan, penetapan harga ini sesuai dengan peraturan kepala BPN No.3/ 2007. Setelah 120 hari musyawarah pertama tidak mencapai kesepakatan harga, maka harga yang ditentukan adalah harga batas atas yang telah dirapatkan antara P2T dengan pihak yang membutuhkan.

"Apabila memang masyarakat tidak setuju maka masyarakat bisa mengajukan gugatan," jelasnya. Keputusan tersebut mulai berlaku tanggal 31 Agustus ini.

Dia juga mengharapkan, bila memang masyarakat setuju dengan keputusan ini maka mereka hanya tinggal datang ke pihaknya dan akan langsung dibayar.
Sementara, bila ada yang akan mengajukan gugatan pihaknya meminta kepada lurah dan camat untuk bisa memfasilitasinya. Diharapkannya, bila semuanya bisa diselesaikan tahun ini maka pada Januari 2011 sudah bisa dimulai pengerjaannya. (umi)
• VIVAnews

Kejaksaan Diminta Buka Lagi Kasus JORR

VIVAnews - Kejaksaan Agung diminta membuka kemblai kasus korupsi jalan tol lingkar luar Jakarta (JORR) dan harbour road. Kejaksaan diminta untuk mengusut pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.

"Peran mbak Tutut dalam kasus itu harus diungkap," kata anggota Komisi Hukum DPR, Syarifuddin Suding, saat dihubungi, Rabu 8 September 2010.

Menurut Suding, kasus ini melibatkan uang negara ratusan miliar rupiah. Jika perkara tersebut dibiarkan terbengkalai, maka pemberantasan korupsi akan tampak berlangsung secara tebang pilih dan tidak memperhatikan rasa keadilan masyarakat.

Kasus korupsi JORR ini dihentikan penyidikannya setelah Jaksa Agung MA Rahman, menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk tersangka Djoko Ramiaji pada 11 Juni 2003. Sebelumnya dua tersangka lain telah divonis.  Mereka adalah Tjokorda Raka Sukawati, mantan Direktur Utama PT Hutama Karya (Persero) dan Thamrin Tanjung, bekas Koordinator Lapangan proyek JORR.

Tjokorda dan Thamrin dinyatakan terbukti melakukan korupsi dengan menerbitkan commercial paper (CP) dan medium term note (MTN) atas nama PT Hutama Karya, yang menyimpang dari peraturan. Akibatnya negara dirugikan sebesar Rp209,35 miliar dan USD 105 ribu.

Kasus itu sendiri bermula dari rencana pembangunan JORR (Kampung Rambutan-Pondok Pinang & Harbor Road (Tanjung Priok–Pluit), pada pertengahan 1990. Kontraktor kedua proyek itu adalah konsorsium Hutama Yala, gabungan PT Hutama Karya dan PT Yala Perkasa. 

Majelis Hakim menyatakan kasus JORR dan Harbour Road nyata-nyata merupakan tindak pidana korupsi yang melawan hukum, merugikan negara dan memperkaya sejumlah pihak - antara lain Djoko Ramiaji, Tutut Soeharto, serta perusahaan –perusahaan milik Tutut dan Djoko.

Sebelumnya, Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), telah melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. MAKI meminta KPK mensupervisi kasus ini karena kejaksaan dinilai lamban. (adi)
• VIVAnews

Gara-Gara Gayus Pegawai Pajak Stres



JAKARTA, KOMPAS.com - Mencuatnya kasus Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki dana Rp 25 miliar dan diduga terlibat markus di kepolisian, membuat Kantor Pajak menjadi sorotan. Setiap gerak-gerik Ditjen Pajak diawasi dengan seksama.

Tak urung, hal ini membuat karyawan di Ditjen Pajak menjadi stres. Rasa malu dan takut pun menyelimuti mereka lantaran mereka khawatir masyarakat "mencap" mereka tidak beda dengan Gayus. Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo menyatakan dalam beberapa waktu terakhir ini, kinerja karyawannya menjadi menurun.

"Kawan-kawan di sini stres. Mereka takut, malu. Mereka di-cap sama dengan Gayus oleh publik. Gondok, kesel, padahal mereka sudah baik-baik begini kok anggapan masyarakat lain," tutur Tjiptardjo, di sela-sela jumpa pers, di Kantornya, Selasa (30/3/2010).

Akibat kasus Gayus, Menurut Tjiptardjo, pegawainya juga banyak yang takut bertemu dengan media. Untuk itu, Tjiptardjo berjanji bakal mengusut tuntas kasus ini setidaknya dalam waktu satu bulan kedepan.

"Saya menjaga keterbukaan tetapi di satu sisi saya menjaga pasukannya juga. Saya akan selesaikan, setidaknya dalam satu bulan," tandas dia.

Anggota DPR rame-rame Korupsi berjamaah

Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan 26 mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai tersangka. Mereka diduga menerima suap terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.

26 Mantan anggota DPR itu berasal dari tiga fraksi, yakni Fraksi Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, dan Fraksi PPP.

KPK pun menyangkakan para mantan anggota DPR itu melanggar ketentuan mengenai penyuapan yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

26 Mantan anggota DPR itu adalah:

Golkar
1. Ahmad Hafiz Zawawi (AHZ) Rp600 juta
2. Marthin Bria Seran (MBS) Rp250 juta
3. Paskah Suzetta (PSz) Rp600 juta
4. Boby Suhardiman (BS) Rp500 juta
5. Antony Zeidra Abidin (AZA) Rp600 juta
6. TM Nurlif (MN) Rp550 juta
7. Asep Ruchimat Sudjana (ARS) Rp150 juta
8. Reza Kamarullah (RK) Rp500 juta
9. Baharuddin Aritonang (BA) Rp350 juta
10. Hengky Baramuli (HB)

PDIP
1. Agus Condro Prayitno (ACP) Rp500 juta
2. Max Moein (MM) Rp500 juta
3. Rusman Lumbantoruan (RL) Rp500 juta
4. Poltak Sitorus (PS) Rp500 juta
5. Williem Tutuarima (WMT) Rp500 juta
6. Panda Nababan (PN) Rp1,45 miliar
7. Engelina Pattiasina (EP) Rp500 juta
8. Muhammad Iqbal (MI) Rp500 juta
9. Budiningsih (B) RP500 juta
10. Jeffrey Tongas Lumban (JT) Rp500 juta
11. Ni Luh Mariani Tirtasari (NLM) Rp500 juta
12. Sutanto Pranoto (SP) Rp600 juta
13. Soewarno (S) Rp500 juta
14. Matheos Pormes (MP) Rp350 juta

PPP
1. Sofyan Usman (SU) Rp250 juta
2. Daniel Tandjung (DT) Rp500 juta.

Amien Rais: Semua Pimpinan KPK Harus Diganti

VIVAnews - Mantan Ketua MPR, Amien Rais, menilai saat ini semua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus diganti. Karena semua pimpinan yang ada sudah tidak memiliki semangat lagi.

"Menurut saya KPK itu semuanya secepatnya diganti, sudah hopless. Tapi KPK-nya jangan dibubarkan," kata Amien di kediamannya, Jakarta, Sabtu 12 Juni 2010.

Menurut Amien, saat ini kondisi di KPK juga sudah tidak ada harapan lagi. Banyak kasus yang tidak terselesaikan. "Tidak ada harapan lagi, pertama tebang pilih berani sama kecil-kecil kalau yang gede, waduh lari," ujarnya.

Saat ini dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah kembali ditetapkan mejadi tersangka oleh kejaksaan. Mereka dituduh telah menerima suap dari Anggodo Widjojo. Selain itu, pimpinan KPK lainnya, Antasari Azhar sudah terlebih dahulu diberhentikan akibat terlibat kasus pidana.
• VIVAnews

Survei: SKPP Bibit Chandra Lemahkan KPK

VIVAnews - Mayoritas masyarakat setuju pembatalan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah justru semakin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hal tersebut berdasarkan penelitian survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia dalam bulan Mei 2010. Survei dilakukan terhadap 1000 orang di seluruh Indonesia dengan margin error 5 persen.

Berdasakran survei, sebanyak 53,9 persen masyarakat menilai pembatalan SKPP Bibit-Chandra justru akan semakin melemahkan KPK. "Yang tidak setuju sebanyak 28,1 persen," kata Direktur Riset LSI, Arman Salam, di Kantor LSI, Jakarta, Kamis 24 Juni 2010. Sedangkan yang tidak tahu sebanyak 18 persen.

Sementara itu, mayoritas masyarakat juga tidak percaya Bibit dan Chandra menerima suap seperti yang dituduhkan polisi. Sebanyak 33,7 persen masyarakat tidak percaya Chandra menerima suap. Sedangkan 32 persen masyarakat tidak percaya Bibit juga menerima suap.

Hanya sebanyak 19,3 persen masyarakat yang percaya kalau Chandra menerima suap, dan 21,6 persen masyarakat yang percaya Bibit menerima suap. Namun masyarakat yang tidak tahu atau tidak yakin apakah kedua pimpinan KPK itu menerima suap atau tidak lebih banyak. yakni 47,1 persen untuk Chandra dan 46,3 persen untuk Bibit.

Survei lainnya, sebanyak 20,3 persen masyarakat menginginkan agar kasus Bibit dan Chandra dihentikan dan tidak dibawa ke pengadilan. Sementara itu, 16,7 persen masyarakat menilai kasus Bibit-Chandra harus dibawa ke pengadilan, terlebih setelah adanya pembatalan SKPP.

Meski ada kasus yang menimpa Bibit dan Chandra, masyarakat masih mempercayai KPK dalam menuntaskan kasus korupsi dibanding kejaksaan dan peradilan. Sebanyak 65,8 persen masyarakat lebih mempercayai KPK. Sedangkan 48 persen masyarakat masih mempercayai kejaksaan, dan 42 persen masyarakat mempercayai peradilan dalam menyelesaikan kasus.

Citra KPK di mata masyarakat pun masih tetap baik, meski SKPP dibatalkan. Sebanyak 65,8 persen masyarakat menilai KPK telah bekerja dengan baik dan sangat baik paska pembatalan SKPP. Hanya 19,6 persen masyarakat yang menilai KPK tidak bekerja dengan baik.
• VIVAnews

KPK Baru Tindaklanjuti 3 Persen Laporan

VIVAnews - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kurun waktu September 2009 hingga Juli 2010, menerima 2.616 laporan. Namun, KPK baru dapat menindaklanjuti sebanyak 66 laporan atau tiga persen dari laporan tersebut.

"Sisanya sudah sebagian besar dilaporkan melalui media lain dan hanya terdapat 5-10 laporan yang baru," kata Wakil Ketua Bidang Pencegahan KPK, M Jasin, dalam Seminar Nasional Pengawasan di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa 3 Agustus 2010.

Jasin menjelaskan, dari 2.616 laporan itu, sebanyak 85 persen atau 2.223 merupakan laporan tindak pidana korupsi. Sedangkan sisanya merupakan laporan mengenai buruknya pelayanan publik.

Laporan itu seluruhnya disampaikan masyarakat melalui sistem KPK Whistle Blower System (KWS). "KWS Merupakan sistem pengaduan kasus korupsi berbasis internet. Jumlah pengunjung sampai 9 Juli 2010 sebanyak 57.280," jelasnya.

Menurut Jasin, bagi masyarakat yang melaporkan tindak pidana korupsi, KPK akan memberikan perlindungan. Caranya, KPK akan menjaga identitas para pelapor. "KPK memberikan perlindungan dan menjaga identitas pelapor," jelasnya. (umi)
• VIVAnews

KPK Timor Leste Berguru ke Indonesia

VIVAnews - Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat kunjungan KPK Timor Leste. Negara bekas provinsi ke-27 Indonesia itu studi banding modus dan cara pemberantasan korupsi di Indonesia.

mereka adalah Deputy Prevention, Manuel Bucar; dan Direktur Education and Research, Jesuina Maria. Kedatangan dua orang pimpinan KPK itu  ditemui oleh pimpinan KPK, Haryono Umar dan M Jasin.

Manuel Bucar menjelaskan, KPK Timor Leste berdiri pada 2009 berdasarkan UU nomor 8/2009 di negara tersebut. "Kehadiran di sini sebagai bagian dari untuk mendapat pengalaman berharga dari KPK di sini. Modus operandi korupsi dan cara pemberantasan kemungkinan tidak jauh berbeda," kata Manuel Bucar di Gedung KPK, Jakarta, Senin 6 September 2010.

Manuel menuturkan, pihaknya sudah bertemu pimpinan. Hasil pertemuan itu akan menjadi pedoman untuk diterapkan di negaranya. "Kita mendapatkan training atau pelatihan atau apa yang bisa berharga bagi Timor Leste," katanya.

Menurut dia, indikasi korupsi di Timor Leste itu pada pengelolaan bantuan asing. "Ada laporan UNDP bahwa ada indikasi korupsi," katanya. (sj)
• VIVAnews

SBY-DPR Akan Bahas Masa Jabatan Pimpinan KPK

VIVAnews - Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK) telah memilih dua calon untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu Bambang Widjajanto dan Busyro Muqoddas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai kedua nama ini sebagai calon yang terbaik.

Selanjutnya, Presiden mengatakan akan membahas dengan DPR terkait masa kerja calon Pimpinan KPK itu. Ini disebabkan belum adanya kepastian tentang itu, apakah selama satu tahun mengikuti pimpinan KPK yang lama, atau empat tahun.

"Saya akan berkonsultasi dengan DPR. Untuk memikirkan mana yang lebih tepat bagi kita," kata Presiden di Istana Negara, Rabu, 8 September 2010.

Hal ini dilakukan Kepala Negara karena pemerintah masih menganggap KPK sebagai institusi penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Saat ini, Yudhoyono menilai peran KPK dalam pemberantasan korupsi sejalan dengan program utama pemerintah. "Pemberantasan korupsi tetap jadi prioritas. Dan kami tetap konsisten untuk memberantas korupsi," katanya. (adi)

Walau demikian, Kepala Negara mengaku prihatin dengan masih banyaknya tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat pemerintah, terutama di daerah. "Saya prihatin, sampai sekarang saya masih tanda tangan untuk periksa pejabat-pejabat negara, baik pemerintah maupun non pemerintah," ujar dia.
• VIVAnews

Polri Limpahkan Berkas Gayus Cs ke Kejaksaan


VIVAnews - Mabes Polri telah merampungkan berkas penyidikan tiga tersangka mafia pajak. Penyidik pun melimpahkan berkas dan para tersangka ke Kejaksaan.

Ketiga tersangka itu adalah mantan pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan dan dua atasannya,  Maruli Pandapotan Manurung dan Humala Setia Leonardo Napitupulu.

"Kami sudah menerima berkas dan barang bukti untuk tersangka Gayus, Maruli, dan Humala," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Yusuf, saat di hubungi wartawan, Jumat 20 Juli 2010.

Yusuf menjelaskan, ketiganya dijerat pasal yang sama. Penyerahan tersangka dan barang bukti ini akan dilanjutkan dengan pembuatan surat dakwaaan.

Seperti yang diketahui, Maruli Pandapotan Manurung merupakan Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan Ditjen Pajak. Dia bersama-sama dengan Humala Setia Leonardo Napitupulu diancam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan atau Pasal 56 KUHP. Sangkaan ini mengatur tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dan merugikan negara.

Akibat perbuatan keduanya, kepolisian menduga ada kerugian negara dan  menguntungkan PT. Surya Alam Tunggal selaku korporasi, paling tidak sejumlah Rp. 570 juta.
• VIVAnews

Gayus Tambunan Gugat Jaksa


VIVAnews - Tersangka dugaan mafia hukum, Gayus Tambunan mengajukan gugatan praperadilan atas penahanan yang dilakukan oleh jaksa. Gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Dia memohon agar penahanan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sejak tanggal 12 Agustus 2010 merupakan penahanan yang tidak sah," kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan M Yusuf di Jakarta, Jumat 27 Agustus 2010.

Yusuf menambahkan, kejaksaan juga telah mendapat surat panggilan dari Pengadilan terkait gugatan yang diajukan Gayus. "Rencananya Selasa besok, tanggal 31 Agustus," kata dia.

Gayus Tambunan
, merupakan salah satu tersangka dalam kasus mafia hukum dan pajak saat dia masih jadi pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Saat ini berkas Gayus masih ditangani oleh tim jaksa di Kejari Jakarta Selatan.

Kejaksaan kemudian menggabungkan dua kasus tersebut dalam satu surat dakwaan. (umi)
• VIVAnews

Pengacara Gayus: Hakim Tak Timbang Sisi HAM

VIVAnews - Adnan Buyung Nasution selaku pengacara Gayus Tambunan  mengaku sangat kecewa atas putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menolak gugatan praperadilan Gayus.

"Hakim terlalu bersikap legalistik formal," kata Buyung usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 8 September 2010. Dalam gugatannya, Gayus mempertanyakan penahanan yang dilakukan jaksa atas dirinya. Karena, masa tahanan Gayus habis 12 Agustus lalu namun jaksa tidak memperpanjang.

Menurut Buyung, seharusnya hakim juga mempertimbangkan sisi kemanusiaan. "Kalau kita menghargai hak asasi manusia, orang ditahan satu jam pun dasar hukumnya harus jelas," ujar dia. Hakim hanya melihat sisi undang-undang saja tanpa melihat sisi HAM.

Dia menilai, tahanan tidak bisa ditelantarkan begitu saja tanpa adanya surat penahanan yang jelas.

Hari ini, hakim menolak gugatan praperadilan Gayus. Alasan hakim, surat perpanjangan penahanan telah dikeluarkan melalui penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Penahanan Gayus pun tetap sah meski tanpa adanya surat perpanjangan penahanan.(ywn)
• VIVAnews

Perpanjangan penahanan Gayus menurut Hakim Sah


VIVAnews - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan gugatan praperadilan yang dilayangkan Gayus Tambunan. Majelis menilai perpanjangan penahanan terhadap Gayus sah menurut hukum.

"Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Nugroho Setiadji, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 8 September 2010

Hakim menyatakan, penahanan perpanjangan Gayus Tambunan setelah 12 Agustus 2010 adalah sah menurut hukum. Surat perpanjanangan penahanan, kata hakim, telah dikeluarkan pada 27 Agustus 2010 melalui penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan . "Sehingga tidak diperlukan penahanan lagi," jelas Hakim.

Dalam pertimbangannya hakim mengatakan perpanjangan penahanan tidak diatur dalam KUHAP. "Komplain dapat disalurkan melalui institusi kejaksaan tetapi tidak dilakukan," kata Nugroho.

Sebelumnya Gayus mempermasalahkan mengenai penahanan terhadap dirinya. Menurut pengacara Gayus, Adnan Buyung Nasution, masa penahanan kliennya itu seharusnya berakhir pada 11 Agustus 2010. Namun, hingga kini kliennya masih ditahan dan tanpa ada surat perpanjangan penahanan.

Secara otomatis, pengacara menilai, penahanan Gayus mulai tanggal 12 Agustus lalu merupakan penahanan yang tidak sah. "Serta tindakan yang merampas kemerdekaan pemohon karena telah dilakukan tanpa dasar," ujar Buyung.

Gayus adalah tersangka dua perkara mafia, yakni pajak dan hukum. Perkara Gayus ini menyeret sejumlah penyidik Mabes Polri dan pejabat Gayus saat masih di Direktorat Jenderal Pajak.
• VIVAnews

Selasa, 07 September 2010

BAP Saksi-saksi Gayus Tetap Berlaku


VIVAnews - Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan Komisaris Besar M Arafat Enanie. Dalam tuntutannya, jaksa sempat menyinggung pencabutan berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh beberapa saksi termasuk Arafat dalam persidangan.

Jaksa berpendapat, adanya perbedaan keterangan antara BAP dan keterangan saksi di persidangan sifatnya tidak menggugurkan.
"Keterangan saksi di persidangan tidak mengubah BAP sebagai alat bukti surat," kata Jaksa Asep Mulyana, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Selanjutnya, kata jaksa, tidak ada alasan hakim untuk menggunakan keterangan saksi atau terdakwa sebagai dasar putusan. Hakim, kata jaksa, harus mempertimbangkan beberapa hal.
"Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya," kata dia, Senin 6 September 2010

Selain itu hakim juga harus memperhatikan keterangan saksi dengan alat bukti lainnya. "Termasuk memperhatikan moral saksi atau terdakwa," ujar Asep.
Sejumlah saksi dalam kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan ramai-ramai menarik BAP-nya saat sidang.
Pada sidang 3 Agustus 2010 lalu, Arafat mencabut seluruh keterangannya dalam BAP. Dia mengatakan keterangan yang diberikan saat diperiksa sebagai tersangka oleh tim independen dilakukan secara terpaksa.

"Saya menyatakan keterangan saya dalam berkas tidak benar dan saya cabut. Sekarang yang menjadi keterangan sebenar-benarnya adalah dalam sidang ini," kata Arafat.

Salah satu keterangan yang menurutnya dalam keadaan terpaksa adalah ketika dirinya menyatakan mengaku menerima uang dari pengacara Gayus, Haposan Hutagalung sebesar Rp35 juta dan Rp20 juta.
Gayus sendiri menduga ada kesepakatan di antara para saksi untuk mencabut BAP. (umi)
• VIVAnews

Gayus Tambunan Jalani Sidang Pertama


VIVAnews - Sidang perdana mantan pegawai pajak Gayus Tambunan digelar hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Rencananya sidang digelar pukul 10.00 WIB dipimpin hakim Albertina Ho.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Babul Khoir mengatakan Gayus disidang atas dua tindak pidana yang dilakukannya. “Perkara pajak yang melibatkan dua atasan Gayus dan tindak pidana korupsi memberikan sesuatu kepada penyidik,” kata dia, beberapa waktu lalu.

Dalam perkara mafia pajak, Gayus dijerat bersama Maruli Pandapotan Manurung dan Humala Napitupulu. “Melakukan penelitian materi keberatan dan berwenang untuk mengurangi, menghapus, menambah sanksi terkait permohonan keberatan wajib pajak,” ujar Babul.

Sedang dalam perkara kedua, kata dia, Gayus dijerat dalam tindak pidana korupsi berupa memberikan sesuatu kepada penyidik Mabes Polri. ”Berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban dalam jabatannya,” kata dia. Dalam kasus ini, penyidik menetapkan delapan tersangka selain Gayus yang saat ini masih menjalani proses persidangan.

Gayus dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18, Pasal 3, 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 13, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 22 jo Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,  Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Selain itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga mengagendakan pembacaan putusan atas gugatan praperadilan yang diajukan Gayus terhadap jaksa. Gayus menggugat jaksa lantaran masa penahanan Gayus tak diperpanjang sejak 12 Agustus 2010 yang lalu, sehingga menurut undang-undang Gayus seharusnya bebas.
• VIVAnews

KPK Usut Kartu Lebaran Rp1,7 M Gubernur Jabar

VIVAnews - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap menelusuri proyek kartu lebaran Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Wakil Ketua Komisi Haryono Umar mengatakan pihaknya akan mendalami apakah itu proyek pribadi atau bukan.

"Akan dilihat kental urusan pribadinya atau tidak. Kalau kental urusan pribadi, sebaiknya anggaran pribadi," kata Haryono di Gedung KPK, Jakarta, Senin 6 September 2010.
Kasus ini mencuat berkait dengan rencana Heryawan menyebar kartu ucapan Idul Fitri sebanyak 450 ribu buah. Jumlah ini setara dengan 1 persen 43 juta penduduk Jawa Barat. Nilainya fantastis, mencapai Rp1,7 miliar. Peruntukannya: biaya perangko Rp675 juta dan ongkos cetak kartu Rp700 juta.

Juru Bicara KPK Johan Budi menambahkan, pejabat teras Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mendatangi Kantor KPK. Mereka menjelaskan proses pengadaan kartu lebaran tersebut.

"Tadi ada pertemuan, mereka menjelaskan tentang pengadaan itu. Dan ternyata itu sudah dalam RAB (Rencana Anggaran Biaya) mereka," ujarnya.

Menurut Johan, para pejabat provinsi menekankan proses pengadaan kartu lebaran sudah sesuai prosedur. "Ada tender dan sebagainya," ujarnya.

Namun, Johan mengaku belum mendapatkan data detail angka proyek bernilai sekitar Rp1,7 miliar tersebut. "Saya nggak tahu detailnya," ujarnya.
• VIVAnews